Bismillahirrahmanirrahim.
Setiap hari setelah menikah ada
tawaran keajaiban berlimpah. Saat memiliki kekuatan berkat karunia Allah
yang membuat kita senang melihat senyumannya, mendengar suaranya. Dia
pula memiliki kekuatan sama untuk mengenyahkan kesepian mengubah sesuatu
yang awalnya biasa-biasa saja dalam hidup kita menjadi rasa-rasa
istimewa. Sungguh, kehadiran suami bagi seorang istri adalah pintu kita
menuju surga, di sini, di dunia.
Ada seseorang yang kini
membersamai kita siang dan malam, wujud nyata dari sesosok yang telah
memilih kita untuk menjaga kehormatan diri dan agama dengan menikahi
kita. Ya, menikahi kita, sosok lain yang menginginkan hal serupa.
Adalah
saya juga merasakannya sebagai karunia tersyukuri di setiap langkah.
Setiap bangun pagi melafalkan kesyukuran atas setiap kesempatan yang
masih Allah berikan berjumpa dan menunjukkan cinta dan kasih sayang pada
kasih kekasihnya. Kini ada yang setia ber-muroja’ah bersama, atau
saat-saat melafalkan dzikir al-ma’tsurat dia yang hadir kini menjadi
teman setia menemani dalam ketaatan.
Tak terasa, sepertinya baru
kemarin dia mengucapkan janji setia dalam ikatan yang kokoh mitsaqon
gholizon. Mengawali amanah baru menjadi seorang istri atau suami sungguh
tidaklah mudah.
Saat harus geleng-geleng kepala karena
tingkahnya, atau juga mengucap tasbih, cemberut, tertawa, gembira
subhanallah inilah yang menumbuhkan cinta, kasih sayang dan ketenangan
dalam jiwa… bukankah justru dengannya Allah memandang dengan pandangan
penuh rahmah?
Penuh kesyukuran mengembangkan senyum-senyum penuh kebahagiaan.
Sepekan
setelah pernikahan, aktivitas masih sama tidak ada yang berubah kecuali
status sudah menikah. Masing-masing sibuk dengan aktivitasnya. Kadang
kala tak jarang juga ada yang meledek.
“Loh mbak masih bawa motor
sendiri emang suaminya ke mana?” katanya. Paling saya hanya jawab. Itu
suami saya ada di sebelah (karena kami bawa motor sendiri-sendiri).
Kini
pertanyaannya, adakah kebahagiaan yang tengah kita rasakan yang membuat
diri kita lebih “bernilai” setelah menikah? Sudahkah setiap tawa dan
rona senyuman yang terkembang merekah membuat kita lebih “bertaqwa”?
Sudahkah di setiap keriangan kita terhadap pasangan kita melahirkan
keberkahan dariNya?
Kalau ini bahagia dan kebahagiaan, dimana letak barokah itu?
3
pekan berlalu dari tepian yang membuat nyaman. Ada pertanyaan yang
kemudian muncul dalam benak. Bukankah wajar di awal pernikahan merasakan
romantisme dan indahnya “cinta”? Tentu jawabannya ya. Dalam sekejap
saja seperti terkena “sihir” oleh kekasih yang dicinta. Tapi kemudian
teringatkan lagi terutama saat banyak agenda dan harus berpisah
sementara.
Sungguh kalau dirimu terlalu sibuk dan larut dalam
rumahtangga banyak kesempatan dakwah yang terbuang. Cobalah bertanya
saat setelah menikah apakah dirimu masih sensitif terhadap permintaan,
respon, perintah, dan panggilan dari Allah oleh banyak agenda-agenda
“dakwah”? Jangan sampai ada kata penyesalan menikahi seorang aktivis
dakwah.
Berkorban untuk benar-benar istiqamah
memang harus bersabar dengan kesabaran luar biasa. Saya pun merasakan
kok setelah menikah jadi cepat capek, ngantuk, dll-nya yah?
Ada kalimat yang membuat saya kembali mengevaluasi setelah beberapa pekan terlewati bersama kehadirannya “banyak
alasan kita untuk bisa menghindari dari dakwah setelah menikah, tapi
seharusnya seorang mukmin dengan loyalitas yang tinggi dengan segala
kesibukannya sebelum menikah tidak membuat hilang kecintaannya terhadap
dakwah.” Inilah cinta ber-karakter yang membuat saya terus belajar
merefleksikan arti dari al-mahabbah wa tadhiyyah.
Rabbana
maafkan atas banyak kekhilafan dan kelalaian sebab kami masih berproses
memaknai hakikat pernikahan sebagai bukti ketaatan kami pada-Mu
—
Ditulis dari seorang yang sedang menempuh perjalanan menyusuri taman-taman perayaan “cinta” dari sebuah mitsaqon gholizon…
terpublis disini :
http://www.dakwatuna.com/2012/01/17630/cinta-ber-karakter-refleksi-al-mahabbah-wa-tadhiyyah/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar